Mozaik Islam

Menjaga Akidah Islam dan Menghargai Kebhinekaan demi Masyarakat yang Harmonis dan Sejahtera dalam Bingkai NKRI

Sejarah Islam di Indonesia

Kesultanan

Kesultanan di Nusantara adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang sultan atau raja dan berpusat di sebuah wilayah yang dikuasai oleh kerajaan tersebut. Ada banyak kesultanan di Nusantara yang lahir pada berbagai periode sejarah. Berikut adalah beberapa di antaranya: Readmore


Sejarah Penyebaran Islam di Kalimantan Selatan dan Peran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari

Islam mulai masuk ke wilayah Kalimantan pada abad ke-15 Masehi melalui para pedagang muslim yang berasal dari Kesultanan Melayu. Pedagang muslim dari Kesultanan Melayu ini seringkali menjalin hubungan dagang dengan masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan. Dalam hubungan dagang tersebut, pedagang muslim tersebut memberikan pengaruh keagamaan kepada masyarakat Dayak sehingga masyarakat Dayak mulai tertarik untuk memeluk Islam.

Pada abad ke-16, agama Islam semakin berkembang di Kalimantan ketika para wali atau ulama Islam datang ke wilayah tersebut. Salah satu wali Islam yang datang ke Kalimantan adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang berasal dari Banjarmasin. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam di Kalimantan. Readmore


Perkembangan Infrastruktur dan Pemukiman di Banten Sebelum dan Saat Kesultanan Maulana Yusuf

Perkembangan Infrastruktur dan Pemukiman Banten Sebelum Masa Kesultanan dan Menjelang Masa Pemerintahan Sultan Maulana Yusuf

Sejarah panjang telah dimiliki oleh Banten sebelum Dinasti Islam merebut kekuasaannya. Banten telah mendapat pengaruh dari kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Budha, seperti Tarumanegara, Sriwijaya, dan Pajajaran. Sejak abad ke-5 Masehi, Banten telah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Namun, tidak banyak keterangan yang menyebutkan tentang pengembangan dan pemukiman masyarakat Banten pada masa tersebut. Setelah Kerajaan Tarumanegara berakhir pada akhir abad ke-7, pengembangan kota dapat ditelusuri dari penggalian yang dilakukan oleh arkeolog di daerah pedalaman Kota Serang.

  1. Pengaruh Kerajaan Tarumanegara Pada masa Kerajaan Tarumanegara, mata pencaharian penduduk Banten sangat bergantung pada alam sekitarnya. Kegiatan-kegiatan seperti perburuan, pertambangan, perikanan, dan perniagaan menjadi mata pencaharian penduduk, selain pertanian, pelayaran, dan peternakan. Berita mengenai perburuan dapat diperoleh dari berita tentang adanya cula badak dan gading gajah yang diperdagangkan. Kerajaan Tarumanegara juga menurut kronik Cina disebut T-Lo-Mo yang pada abad VI dan VII Masehi mengirim utusannya ke Cina.
  2. Pengaruh Kerajaan Jawa dan Melayu Setelah Kerajaan Tarumanegara berakhir, pengaruh Jawa dan Melayu terlihat di Banten Girang. Kerajaan Banten Girang yang sudah berdiri terkena pengaruh ganda dari kedua kebudayaan besar tersebut. Kitab Negarakertagama menggambarkan wilayah politik Banten Girang sebagai wilayah pengaruh Jawa mulai tahun 1275 Masehi setelah Raja Kertanegara melancarkan ekspedisi militer melawan Melayu-Jambi yang dikenal dengan ekspedisi pamalayu. Pengaruh Melayu pun, baik politik maupun budaya selama berabad-abad terasa di daerah itu dari akhir abad ke-7 sampai abad ke-10, lalu dari awal abad ke-11 sampai paro kedua abad ke-13.
  3. Pemakaian Bahasa di Banten Girang Dua kebudayaan besar, Melayu dan Jawa, mempengaruhi pemakaian bahasa di Banten Girang. Bahasa Melayu diperkirakan digunakan di Banten Girang bersamaan dengan bahasa Jawa. Terlihat dengan nyata dalam sebuah surat pendek yang oleh syahbandar keturunan Cina ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Jawa.

Readmore


Perkembangan Ekologi dan Sosio-Kultural Kota Banten Girang pada Masa Pra-Kolonial

Sejarah kota dapat dilihat dari berbagai aspek, salah satunya adalah perkembangan ekologi kota. Hubungan antara manusia dan lingkungan alamnya merupakan salah satu kekuatan yang membentuk karakter kota. Artikel ini membahas perubahan ekologi dan sosio-kultural Kota Banten Girang, sebuah kerajaan di Indonesia pada masa pra-kolonial.

Topografi dan Lokasi Kota Letak pusat Kerajaan Banten Girang pada masa lalu terletak di pedalaman. Meskipun demikian, kerajaan ini tidak termasuk kerajaan pedalaman yang memperlihatkan sifat peradaban yang tertutup dan statis, dengan ekspresi kebudayaan yang lebih kurang seragam, seperti yang ditemui pada kota-kota pedalaman Jawa masa pra-kolonial. Banten Girang merupakan kerajaan terbuka dan merupakan daerah yang penting bagi jaringan laut internasional. Hal ini didasarkan pada temuan arkeologis di lokasi tersebut berupa keramik impor, seperti dari Cina, Vietnam, dan Thailand. Selain itu, ditemukan pula manik-manik dan mata uang logam dari dinasti Tang, Cina.

Perubahan Sosio-Kultural Kota Banten Girang merupakan perwujudan kosmologis dalam kerajaan bercorak Hindu. Bangunan-bangunan sakral seperti istana dan tempat ibadah ditempatkan pada ketinggian untuk melambangkan kekuasaan dan religiositas. Sedangkan, bangunan yang sifatnya umum untuk kegiatan ekonomi dan sosial, seperti perumahan, dan pasar ditempatkan di daerah kerendahan. Konsep yang dianut agama Hindu-Budha dan Islam pada masa itu berbeda. Zaman pra-Islam orang cenderung memilih dataran tinggi berdasarkan konsep kosmologi yang percaya adanya dunia atas dan bawah. Readmore


Perpindahan Ibukota dari Banten Girang ke Banten Lama

Fase awal penyebaran Islam di Banten adalah fase yang berarti dalam sejarah Banten. Pada masa ini, terjadi transformasi agama dari kerajaan yang bercorak Hinduistik menjadi Islam dan mulai berkembangnya Banten sebagai pelabuhan alternatif setelah Malaka.

Proses Awal Penaklukan Banten: Proses awal penaklukan Banten terjadi pada tahun 1478 Masehi menurut Sajarah Banten. Namun, tidak menutup kemungkinan jika proses penaklukan dalam sumber Sajarah Banten itu terhitung sejak kedatangan wangsa Islam untuk pertama kalinya di wilayah Banten.

Perpindahan Pusat Pemerintahan: Pada tahun 1526, orang-orang Islam berhasil menghimpun kekuatan politik dan sudah cukup kuat, sehingga mereka berani menduduki pusat pemerintahan Banten Girang. Sekaligus memindahkan pusat kota dari Banten Girang ke Banten Lama yang lebih dekat dengan pesisir.

Pemindahan Pusat Pemerintahan Banten: Maulana Hasanuddin sebagai raja pertama di Kesultanan Banten, memimpin Banten setelah berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun di Banten Girang. Kebijakan pertama dalam pemerintahannya adalah memindahkan pusat kerajaan dari Banten Girang ke Banten Lama. Readmore


Kesultanan Banten didirikan oleh Sunan Gunung Jati,

Pengembangan sebuah kota tidak dapat dipisahkan dari dinamika sejarah yang membentuk identitas kota tersebut. Banten, salah satu provinsi di Indonesia, merupakan kota yang lahir dari latar historis perkembangan pusat politik tradisional sebelumnya, yakni peran kekuasaan kesultanan Islam. Banten juga terkenal memiliki hubungan dagang dengan Cina dan India sejak dahulu, seperti terbukti dengan ditemukannya sejumlah benda arkeologi seperti keramik Cina, arca, dan prasasti.

Sebagai bandar dagang di pesisir utara Jawa bagian barat, Banten diperkirakan muncul pada masa Kerajaan Sunda. Dalam berbagai sumber Cina yang dihimpun oleh Groeneveldt, salah satu daerah di Nusantara yang mereka kenal pada masa Dinasti Ming adalah Sun-la, yang dianggap lafal Cina untuk Sunda. Tome Pires (1512-1515) dalam Suma Oriental-nya juga menyebut “Bantam” sebagai salah satu pelabuhan penting Kerajaan Sunda, disamping pelabuhan lainnya seperti Pontang, Cigede, Tangerang, Sunda Kelapa, dan Cimanuk.

Banten merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Sunda yang Hinduistis dan berupa kota pelabuhan yang letaknya di ujung barat sehingga merupakan kota pelabuhan pertama yang dikunjungi Tome Pires dalam perjalanannya menyusuri pesisir utara Pulau Jawa. Kota pelabuhan ini terletak di tepi sungai, dan dinilai sebagai kota yang baik (a good city) karena ditata secara teratur dan rapih.

Letak Banten yang berada di dekat Selat Sunda menjadikan kedudukannya sangat strategis, mengingat kegiatan perdagangan di Nusantara dan Asia serta kedudukan barang dengan rempah-rempah di pasar internasional makin meningkat, seiring dengan berdatangannya pedagang-pedagang dari luar negeri. Hal ini membuat Banten semakin berkembang pesat dan menjadi pusat perdagangan yang ramai.

Pada abad ke-16, Kesultanan Banten didirikan oleh Sunan Gunung Jati, seorang tokoh penting dari Kesultanan Cirebon. Ia memutuskan untuk memisahkan diri dari Kesultanan Cirebon dan mendirikan kesultanan sendiri di Banten. Kesultanan Banten berkembang pesat di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, yang berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke seluruh wilayah Banten dan sekitarnya.

Kesultanan Banten memiliki hubungan dagang yang kuat dengan negara-negara Eropa, seperti Inggris, Belanda, dan Portugal. Namun, pada akhirnya hubungan dengan Belanda menjadi kurang harmonis dan berakhir dengan terjadinya Perang Banten pada tahun 1680-an. Kesultanan Banten kemudian runtuh dan wilayahnya menjadi bagian dari Hindia Belanda.

Seiring dengan berdatangannya penjajah asing, Banten juga mengalami berbagai perubahan. Pada awal abad ke-16, Portugis datang ke Banten dan mencoba untuk menjalin hubungan dagang dengan kesultanan tersebut. Namun, hubungan tersebut tidak berjalan mulus dan justru memicu konflik yang berlangsung selama beberapa dekade. Pada tahun 1596, Portugis berhasil menaklukkan kota Sunda Kelapa, yang pada saat itu merupakan pusat perdagangan rempah-rempah yang sangat penting. Penaklukan ini membuat Banten kehilangan pendapatan yang signifikan dan kedudukannya sebagai pusat perdagangan rempah-rempah di Nusantara pun terancam.

Perubahan besar lainnya terjadi pada abad ke-17 ketika VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Belanda mulai menancapkan kakinya di Nusantara. Pada tahun 1601, VOC menandatangani perjanjian dengan Banten yang memungkinkan mereka untuk mendirikan pos dagang di pelabuhan Banten dan melakukan kegiatan perdagangan dengan kesultanan tersebut. Namun, hubungan ini juga tidak berjalan mulus dan sering terjadi konflik antara Banten dan VOC.

Pada tahun 1680, Banten akhirnya jatuh ke tangan VOC setelah mengalami serangkaian perang yang mengakibatkan kerusakan yang cukup parah di kota tersebut. Kesultanan Banten kemudian dihapuskan dan wilayahnya menjadi bagian dari Hindia Belanda. VOC membangun benteng di Banten dan menjadikan kota ini sebagai pusat perdagangan utama di barat daya Pulau Jawa. Kehadiran VOC membuat Banten menjadi pusat perdagangan rempah-rempah yang sangat penting di Nusantara.

Dalam perkembangannya, Banten tidak hanya dikenal sebagai pusat perdagangan rempah-rempah, tetapi juga sebagai pusat kebudayaan dan agama Islam di Jawa Barat. Kesultanan Banten menjadi pusat pengembangan sastra, seni, dan bahasa. Salah satu tokoh sastra terkenal dari Banten adalah Sultan Ageng Tirtayasa yang merupakan penulis Serat Centhini, sebuah kitab sastra Jawa yang terkenal hingga kini.


Kesultanan Banten: Pusat Perdagangan, Kebudayaan dan Kekuasaan Islam di Jawa Barat pada Abad Ke-16

Kesultanan Banten Banten didirikan pada abad ke-16 di wilayah Banten, sebuah pelabuhan di barat laut Pulau Jawa, Indonesia. Masuknya Islam ke Banten dipercayai terjadi melalui dua jalur yaitu jalur perdagangan dan pernikahan.

Jalur perdagangan dimulai pada abad ke-7 ketika pedagang-pedagang Arab dan India mulai berdagang dengan Nusantara, termasuk Banten. Mereka membawa ajaran Islam dan secara bertahap menyebarluaskan agama tersebut di wilayah tersebut.

Sementara itu, jalur pernikahan melibatkan pasangan dari kalangan bangsawan Banten yang menikah dengan keturunan pedagang Arab atau India yang telah memeluk Islam. Dengan cara ini, Islam diserap oleh kalangan bangsawan dan masyarakat kelas atas, yang kemudian memperkenalkan agama baru tersebut kepada masyarakat umum.

Pada abad ke-16, kerajaan Islam Banten mulai dikenal secara luas dan menjadi salah satu kekuatan maritim di Nusantara. Raja-raja Banten juga memperluas wilayah kekuasaan mereka dengan melakukan ekspansi ke daerah-daerah sekitarnya. Readmore


Kerajaan Kesultanan di Aceh: Mengenal Sejarah dan Peninggalannya dari Samudera Pasai hingga Aceh Darussalam pada Abad ke-16 hingga ke-19.

Kerajaan kesultanan di Aceh

Berikut adalah urutan kerajaan kesultanan di Aceh dari yang pertama hingga yang terakhir:

  1. Samudera Pasai (abad ke-13 hingga abad ke-16)
  2. Kesultanan Aceh Darussalam (abad ke-16 hingga abad ke-19)
  3. Kesultanan Aceh Besar (abad ke-17 hingga abad ke-18)
  4. Kesultanan Pidie (abad ke-16 hingga abad ke-19)
  5. Kesultanan Deli Serdang (abad ke-16 hingga abad ke-19)
  6. Kesultanan Langkat (abad ke-16 hingga abad ke-19)
  7. Kesultanan Serdang (abad ke-16 hingga abad ke-19)

Dari kesultanan-kesultanan tersebut, Kesultanan Aceh Darussalam menjadi yang paling terkenal dan berpengaruh di Aceh dan Nusantara pada masa itu. Readmore


Sejarah Penyebaran Islam di Aceh dan Kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam

Islam pertama kali masuk ke Aceh pada abad ke-7 Masehi melalui pedagang Arab yang melakukan perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Aceh. Pada saat itu, Aceh masih berada di bawah pengaruh agama Hindu-Buddha dari kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Namun, penyebaran Islam di Aceh pada masa itu masih sangat lambat dan terbatas. Baru pada abad ke-13, Aceh mulai menjadi pusat perdagangan rempah-rempah yang strategis dan menjadi salah satu kota perdagangan terbesar di Asia Tenggara.

Hal ini menarik perhatian para pedagang Muslim dari Arab dan Gujarat, India. Mereka membawa ajaran Islam dan memperkenalkannya kepada penduduk Aceh. Dalam catatan sejarah, terdapat beberapa ulama dari Arab dan India yang datang ke Aceh pada abad ke-13 dan ke-14, seperti Syekh Rukunuddin dan Syekh Jamaluddin.

Penyebaran Islam di Aceh pada saat itu masih mengalami tantangan dan perlawanan dari penguasa lokal dan penduduk setempat yang masih memeluk agama Hindu-Buddha. Baru pada abad ke-15, penyebaran Islam di Aceh semakin luas dan masif dengan adanya dukungan dari penguasa-penguasa Aceh. Salah satu tokoh yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Aceh pada masa ini adalah Sultan Ali Mughayat Syah, yang memeluk agama Islam pada tahun 1507 dan memerintahkan pembangunan masjid-masjid dan pesantren di Aceh. Readmore