Mozaik Islam

Menjaga Akidah Islam dan Menghargai Kebhinekaan demi Masyarakat yang Harmonis dan Sejahtera dalam Bingkai NKRI

Kerajaan Kesultanan di Aceh: Mengenal Sejarah dan Peninggalannya dari Samudera Pasai hingga Aceh Darussalam pada Abad ke-16 hingga ke-19.

Kerajaan kesultanan di Aceh

Berikut adalah urutan kerajaan kesultanan di Aceh dari yang pertama hingga yang terakhir:

  1. Samudera Pasai (abad ke-13 hingga abad ke-16)
  2. Kesultanan Aceh Darussalam (abad ke-16 hingga abad ke-19)
  3. Kesultanan Aceh Besar (abad ke-17 hingga abad ke-18)
  4. Kesultanan Pidie (abad ke-16 hingga abad ke-19)
  5. Kesultanan Deli Serdang (abad ke-16 hingga abad ke-19)
  6. Kesultanan Langkat (abad ke-16 hingga abad ke-19)
  7. Kesultanan Serdang (abad ke-16 hingga abad ke-19)

Dari kesultanan-kesultanan tersebut, Kesultanan Aceh Darussalam menjadi yang paling terkenal dan berpengaruh di Aceh dan Nusantara pada masa itu.

Samudera Pasai (abad ke-13 hingga abad ke-16)

Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan Islam yang didirikan di Aceh Utara pada abad ke-13 dan berlangsung hingga abad ke-16. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara dan menjadi pusat perdagangan internasional yang penting pada masanya. Nama “Samudera Pasai” berasal dari kata “Samudra” yang berarti laut dan “Pasai” yang merupakan nama pelabuhan utama kerajaan ini.

Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh seorang raja bernama Malik Al-Tahir pada tahun 1267 Masehi. Kerajaan ini kemudian berkembang pesat sebagai pusat perdagangan rempah-rempah, terutama lada, dan menjadi pusat pembelajaran Islam di Asia Tenggara. Di dalam kerajaan ini, para ulama dan cendekiawan Muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul dan berdiskusi mengenai ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama Islam.

Kerajaan Samudera Pasai juga memiliki hubungan diplomatik dengan negara-negara di Timur Tengah, India, dan China. Selain itu, kerajaan ini dikenal sebagai tempat produksi koin emas dan perak yang berkualitas tinggi yang menjadi alat tukar yang penting dalam perdagangan internasional.

Pada abad ke-14, kerajaan ini mulai mengalami kemunduran akibat persaingan dengan kerajaan-kerajaan lain di kawasan tersebut, seperti Majapahit, Malaka, dan Demak. Pada abad ke-16, Kerajaan Aceh Darussalam menggantikan Kerajaan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam terbesar dan paling berpengaruh di Nusantara, dan kemudian Samudera Pasai menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Aceh.

Kesultanan Aceh Darussalam (abad ke-16 hingga abad ke-19)

Kesultanan Aceh Darussalam adalah sebuah kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Aceh pada abad ke-16 hingga abad ke-19. Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1511 Masehi dan menjadi salah satu kerajaan Islam terbesar dan paling berpengaruh di Nusantara pada masa itu. Nama “Aceh Darussalam” berasal dari kata “Aceh” yang merupakan nama wilayah di utara Sumatera dan “Darussalam” yang berarti rumah yang damai.

Kesultanan Aceh Darussalam menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, terutama lada, dan menjadi tempat singgah penting di rute perdagangan antara Timur Tengah, India, dan China. Selain itu, Aceh Darussalam juga dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan agama Islam di Asia Tenggara. Beberapa ulama terkenal dari Aceh Darussalam antara lain Hamzah Fansuri, Teungku Chik Di Tiro, dan Nuruddin ar-Raniri.

Kesultanan Aceh Darussalam juga dikenal sebagai kerajaan yang kuat dan berani dalam melawan penjajah Eropa. Pada abad ke-16, kesultanan ini berhasil mengalahkan Portugis dalam beberapa pertempuran, seperti Pertempuran Samalanga (1570) dan Pertempuran Pasai (1571). Namun, pada abad ke-17, kesultanan ini mengalami kemunduran setelah terjadi perang dengan Belanda yang berlangsung selama tiga dekade. Pada akhirnya, pada tahun 1904, Kesultanan Aceh Darussalam resmi menjadi bagian dari Hindia Belanda.

Kesultanan Aceh Darussalam memiliki banyak peninggalan yang masih dapat ditemukan hingga saat ini. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Istana Sultanah Safiatuddin: Istana ini dibangun pada tahun 1663 dan merupakan salah satu peninggalan kesultanan Aceh yang paling terkenal. Bangunan ini memiliki arsitektur khas Aceh dengan hiasan ukiran dan lukisan yang indah. Saat ini, istana ini menjadi salah satu museum di kota Banda Aceh.
  2. Masjid Raya Baiturrahman: Masjid ini dibangun pada abad ke-17 oleh Sultan Iskandar Muda. Masjid ini menjadi salah satu simbol keagungan Kesultanan Aceh dan hingga kini masih menjadi salah satu masjid terbesar dan terindah di Indonesia.
  3. Museum Aceh: Museum ini berisi banyak koleksi artefak dan peninggalan sejarah Kesultanan Aceh. Beberapa di antaranya adalah senjata-senjata kuno, perhiasan, dan dokumentasi sejarah kesultanan Aceh.
  4. Makam Sultan Iskandar Muda: Makam ini terletak di kota Banda Aceh dan menjadi salah satu objek wisata sejarah yang populer di Aceh. Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai salah satu sultan paling hebat dalam sejarah Kesultanan Aceh.
  5. Taman Sari Gunongan: Taman Sari Gunongan merupakan sebuah bangunan istana yang dibangun pada abad ke-16 oleh Sultan Iskandar Tsani. Bangunan ini memiliki arsitektur yang khas dengan kolam air di tengahnya dan menjadi salah satu tempat wisata sejarah yang populer di kota Banda Aceh.

Masih terdapat  banyak peninggalan sejarah lainnya seperti benteng-benteng pertahanan, makam-makam raja dan ulama, serta berbagai benda-benda antik yang masih dilestarikan oleh masyarakat Aceh hingga saat ini. Semua peninggalan ini menjadi saksi bisu keagungan dan kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam di masa lalu.

Kesultanan Aceh Besar (abad ke-17 hingga abad ke-18)

Kesultanan Aceh Besar adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di wilayah Aceh pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18. Kerajaan ini merupakan penggabungan dari dua kerajaan yaitu Kesultanan Aceh dan Kesultanan Pidie yang terjadi pada tahun 1612 Masehi. Nama “Aceh Besar” sendiri berasal dari wilayah Aceh yang terletak di bagian utara.

Kesultanan Aceh Besar dipimpin oleh beberapa sultan yang terkenal, seperti Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan Sultanah Safiyyatuddin (1641-1675). Pada masa kejayaannya, Kesultanan Aceh Besar dikenal sebagai pusat perdagangan rempah-rempah yang penting di Nusantara. Selain itu, kesultanan ini juga menjadi pusat kebudayaan dan agama Islam di Asia Tenggara, dengan banyaknya pembangunan masjid, pesantren, dan pusat studi Islam.

Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang paling terkenal di Kesultanan Aceh Besar. Ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Semenanjung Malaya, Sumatera Selatan, dan Kepulauan Nusantara. Ia juga berhasil mengalahkan Portugis dalam pertempuran yang terkenal, yaitu Pertempuran Malaka (1629) dan Pertempuran Goa (1639). Di bawah kepemimpinannya, kesultanan ini mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17.

Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal pada tahun 1636, Kesultanan Aceh Besar mengalami kemunduran dan terus melemah di bawah kepemimpinan para sultan selanjutnya. Pada akhirnya, pada abad ke-18, kesultanan ini dihadapkan dengan ancaman kekuatan Eropa, terutama Belanda yang berhasil menguasai sebagian besar wilayah Aceh Besar pada awal abad ke-19.

Kesultanan Pidie (abad ke-16 hingga abad ke-19)

Kesultanan Pidie adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di wilayah Pidie, Aceh, pada abad ke-16 hingga awal abad ke-19. Kerajaan ini didirikan oleh seorang pangeran Aceh bernama Raja Syah Muzakkar pada tahun 1583 Masehi. Pidie sendiri terletak di sebelah barat daya Aceh dan terdiri dari wilayah pesisir pantai dan perbukitan.

Kesultanan Pidie awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah, namun kemudian merdeka dan menjadi kerajaan yang terpisah pada abad ke-16. Selama berabad-abad, Kesultanan Pidie mempertahankan kemandiriannya dengan menjalin hubungan perdagangan yang luas dengan negara-negara tetangga seperti India, Arab, dan China.

Sultan-sultan yang memerintah di Kesultanan Pidie terkenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan visioner, seperti Sultan Abdul Jalil (1675-1688) dan Sultan Mahmud (1719-1743). Pada masa kepemimpinan Sultan Mahmud, Kesultanan Pidie mencapai puncak kejayaannya dengan menguasai wilayah perbukitan yang subur dan meluas hingga ke wilayah-wilayah tetangga.

Pada abad ke-19, Kesultanan Pidie mulai mengalami kemunduran akibat tekanan dari kekuatan Eropa, terutama Belanda. Pada tahun 1831, Belanda berhasil menguasai Pidie dan menjadikannya sebagai bagian dari Hindia Belanda.

Kesultanan Deli Serdang (abad ke-16 hingga abad ke-19)

Kesultanan Deli Serdang adalah sebuah kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Deli Serdang, Sumatera Utara pada abad ke-16 hingga abad ke-19. Kerajaan ini didirikan oleh seorang ulama bernama Tuanku Gocah Pahlawan pada awal abad ke-16.

Wilayah Kesultanan Deli Serdang pada masa kejayaannya meliputi wilayah Deli, Serdang, Langkat, dan sebagian Asahan, dengan ibu kota berada di kota Deli Tua. Pada awalnya, Deli Tua merupakan sebuah pelabuhan penting di Selat Malaka yang digunakan sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya.

Sultan-sultan yang memerintah di Kesultanan Deli Serdang dikenal sebagai pemimpin yang cakap dan bijaksana, serta mampu menjalin hubungan dagang yang erat dengan para pedagang asing, terutama dari Arab, India, dan Belanda. Kesultanan Deli Serdang juga terkenal sebagai pusat kebudayaan Melayu yang kaya, terutama dalam bidang sastra, musik, dan seni pertunjukan.

Pada abad ke-19, Kesultanan Deli Serdang mengalami kemunduran akibat tekanan dari kekuatan kolonial Belanda, yang mulai menguasai wilayah-wilayah penting di Sumatera Utara. Pada tahun 1865, Belanda berhasil menguasai Deli Tua dan kemudian membangun kota Medan sebagai pusat administrasi mereka di wilayah ini.

Kesultanan Langkat (abad ke-16 hingga abad ke-19)

Kesultanan Langkat adalah sebuah kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Langkat, Sumatera Utara pada abad ke-16 hingga abad ke-19. Kerajaan ini didirikan oleh seorang ulama bernama Syekh Burhanuddin pada awal abad ke-16.

Wilayah Kesultanan Langkat pada masa kejayaannya meliputi wilayah Langkat, sebagian Deli Serdang, dan sebagian Aceh Tamiang, dengan ibu kota berada di kota Stabat. Kesultanan Langkat dikenal sebagai pusat perdagangan yang penting di Sumatera Utara, terutama dalam perdagangan hasil bumi dan rempah-rempah.

Sultan-sultan yang memerintah di Kesultanan Langkat dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan mampu menjalin hubungan dagang yang erat dengan para pedagang asing, terutama dari Arab dan India. Mereka juga dikenal sebagai pelindung seni dan budaya, dengan banyaknya dukungan yang diberikan kepada para seniman dan budayawan di wilayah ini.

Pada abad ke-19, Kesultanan Langkat mengalami kemunduran akibat tekanan dari kekuatan kolonial Belanda, yang mulai menguasai wilayah-wilayah penting di Sumatera Utara. Pada tahun 1872, Belanda berhasil menguasai kota Stabat dan membangun kota Tanjungpura sebagai pusat administrasi mereka di wilayah ini.

Kesultanan Serdang (abad ke-16 hingga abad ke-19)

Kesultanan Serdang adalah sebuah kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Serdang, Sumatera Utara pada abad ke-16 hingga abad ke-19. Kerajaan ini didirikan oleh seorang ulama bernama Datuk Ketumanggungan pada awal abad ke-16.

Wilayah Kesultanan Serdang pada masa kejayaannya meliputi wilayah Deli Serdang, dengan ibu kota berada di kota Tanjung Morawa. Kesultanan Serdang dikenal sebagai pusat perdagangan yang penting di Sumatera Utara, terutama dalam perdagangan hasil bumi dan rempah-rempah.

Sultan-sultan yang memerintah di Kesultanan Serdang dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan mampu menjalin hubungan dagang yang erat dengan para pedagang asing, terutama dari Arab dan India. Mereka juga dikenal sebagai pelindung seni dan budaya, dengan banyaknya dukungan yang diberikan kepada para seniman dan budayawan di wilayah ini.

Pada abad ke-19, Kesultanan Serdang mengalami kemunduran akibat tekanan dari kekuatan kolonial Belanda, yang mulai menguasai wilayah-wilayah penting di Sumatera Utara. Pada tahun 1865, Belanda berhasil menguasai kota Tanjung Morawa dan membangun kota Medan sebagai pusat administrasi mereka di wilayah ini.