Mozaik Islam

Menjaga Akidah Islam dan Menghargai Kebhinekaan demi Masyarakat yang Harmonis dan Sejahtera dalam Bingkai NKRI

Wali Nikah

Paling tdk harus ada 4 (empat) hal pokok yg menjadi rukun atas syahnya sebuah pernikahan. Bila salah satu dari semua itu tdk terpenuhi, batallah status pernikahan itu. Yaitu [1] Wali, [2] Saksi, [3] Ijab Kabul (akad) [4] Mahar.

Wali

Keberadaan wali mutlak harus ada dalam sebuah pernikahan. Sebab akad nikah itu terjadi antara wali dgn pengantin laki-laki. Bukan dgn pengantin perempuan.

Sering kali orang salah duga dalam masalah ini. Sebab demikianlah Islam mengajarkan tentang kemutlakan wali dalam sebuah akad yg intinya adl menghalalkan kemaluan wanita. Tidak mungkin seorang wanita menghalalkan kemaluannya sendiri dgn menikah tanpa adanya wali.

Menikah tanpa izin dari wali adl perbuatan mungkar & pelakunya bisa dianggap berzina. Dalilnya adl sabda Rasulullah SAW:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ  أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ

Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Siapapun wanita yg menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yg telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka Sulthan adl wali bagi mereka yg tdk punya wali. (Hadis Riwayat: Ahmad, Abu Daud, Tirmizi & Ibnu Majah.)

عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِيهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ  لا نِكَاحَ إِلا بِوَلِيٍّ

Dari Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Tidak ada nikah kecuali dgn wali”. (HR Ahmad & Empat)

Dari Al-Hasan dari Imran marfu’an,”Tidak ada nikah kecuali dgn wali & 2 saksi”.(HR Ahmad).

  1. Siapakah yg bisa menjadi wali? Wali tdk lain adl ayah kandung seorang wanita yg secara nasab memang syah sbg ayah kandung. Sebab bisa jdi secara biologis seorang laki-laki menjadi ayah dari seorang anak wanita, namun karena anak itu lahir bukan dari perkawinan yg syah, maka secara hukum tdk syah juga kewaliannya.
  2. Syarat Seorang Wali
    1. Beragama Islam Islam, seorang ayah yang bukan beragama islam tdk menikahkan atau menjadi wali bagi pernikahan anak gadisnya yg muslimah. Begitu juga orang yg tdk percaya kpd adanya Allah Subhanahu wa ta’ala (atheis). Dalil haramnya seorang kafir menikahkan anaknya yg muslimah adl ayat Quran berikut ini : وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاًDan Allah sekali-kali tdk akan memberi jalan kpd orang-orang kafir utk memusnahkan orang-orang yg beriman.(Al Qur’an Surat: An-Nisa : 141)
    2. Berakal Berakal, maka seorang yg kurang waras atau idiot atau gila tdk syah bila menjadi wali bagi anak gadisnya.
    3. Baligh Maka seorang anak kecil yg belum pernah bermimpi atau belum baligh, tdk syah bila menjadi wali bagi saudara wanitanya atau anggota keluarga lainnya.
    4. Merdeka Dengan demikian maka seorang budak tdk syah bila menikahkan anaknya atau anggota familinya, meski pun beragama ISlam, berakal, baligh.
  3. Urutan Wali Dalam mazhab syafi’i, urutan wali adl sbg berikut :
    1. Ayah kandung
    2. Kakek, atau ayah dari ayah
    3. Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah & se-ibu
    4. Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah saja
    5. Anak laki-laki dari saudara yg se-ayah & se-ibu
    6. Anak laki-laki dari saudara yg se-ayah saja
    7. Saudara laki-laki ayah
    8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu)Daftar urutan wali di atas tdk boleh dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga bila ayah kandung masih hidup, maka tdk boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wawli pd nomor urut berikutnya.Kecuali bila pihak yg bersangkutan memberi izin & haknya itu kpd mereka.Penting utk diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kpd orang lain, meski tdk termasuk dalam daftar para wali. Hal itu biasa sering dilakukan di tengah masyarakat dgn meminta kpd tokoh ulama setempat utk menjadi wakil dari wali yg syah. Dan utk itu harus ada akad antara wali & orang yg mewakilkan.Dalam kondisi dimana seorang ayah kandung tdk bisa hadir dalam sebuah akad nikah, maka dia bisa saja mewakilkan hak perwaliannya itu kpd orang lain yg dipercayainya, meski bukan termasuk urutan dalam daftar orang yg berhak menjadi wali.Sehingga bila akad nikah akan dilangsungkan di luar negeri & semua pihak sudah ada kecuali wali, karena dia tinggal di Indonesia & kondisinya tdk memungkinkannya utk ke luar negeri, maka dia boleh mewakilkan hak perwaliannya kpd orang yg sama-sama tinggal di luar negeri itu utk menikahkan anak gadisnya.

      Namun hak perwalian itu tdk boleh dirampas atau diambil begitu saja tanpa izin dari wali yg sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan, maka pernikahan itu tdk syah & harus dipisahkan saat itu juga.

  4. Wali ‘Adhal Seorang ayah kandung yg tdk mau menikahkan anak gadisnya disebut dgn waliyul adhal, yaitu wali yg menolak menikahkan.Dalam kondisi yg memaksa & tdk ada alternatif lainnya, seorang hakim mungkin saja menjadi wali bagi seorang wanita. Misalnya bila ayah kandung wanita itu menolak menikahkan puterinya sehingga menimbulkan mudharat. Istilah yg sering dikenal adl wali ?adhal.Namun tdk mudah bagi seorang hakim ketika memutuskan utk membolehkan wanita menikah tanpa wali aslinya atau ayahnya, tetapi dgn wali hakim. Tentu harus dilakukan pengecekan ulang, pemeriksaan kpd byk pihak termasuk juga kpd keluarganya & terutama kpd ayah kandungnya.Dan utk itu diperlukan proses yg tdk sebentar, karena harus melibatkan byk orang. Juga harus didengar dgn seksama alasan yg melatar-belakangi orang tuanya tdk mau menikahkannya.

    Sehingga pd titik tertentu dimana alasan penolakan wali ?adhal itu memang dianggap mengada-ada & sekedar menghalangi saja, bolehlah pd saat itu hakim yg syah dari pengadilan agama yg resmi memutuskan utk menggunakan wali hakim. Misalnya utk menghindari dari resiko zina yg besar kemungkinan akan terjadi, sementara ayah kandung sama sekali tdk mau tahu.

    Tetapi sekali lagi, amat besar tanggung-jawab seorang hakim bila sampai dia harus mengambil-alih kewalian wanita itu. Dan tentu saja keputusan ini harus melalui proses yg syah & resmi menurut pengadilan yg ada. Bukan sekedar hakim-hakiman dgn proses kucing-kucingan.

Oleh: H. Ahmad Sarwat, Lc