Mozaik Islam

Menjaga Akidah Islam dan Menghargai Kebhinekaan demi Masyarakat yang Harmonis dan Sejahtera dalam Bingkai NKRI

Kesultanan Banten didirikan oleh Sunan Gunung Jati,

Pengembangan sebuah kota tidak dapat dipisahkan dari dinamika sejarah yang membentuk identitas kota tersebut. Banten, salah satu provinsi di Indonesia, merupakan kota yang lahir dari latar historis perkembangan pusat politik tradisional sebelumnya, yakni peran kekuasaan kesultanan Islam. Banten juga terkenal memiliki hubungan dagang dengan Cina dan India sejak dahulu, seperti terbukti dengan ditemukannya sejumlah benda arkeologi seperti keramik Cina, arca, dan prasasti.

Sebagai bandar dagang di pesisir utara Jawa bagian barat, Banten diperkirakan muncul pada masa Kerajaan Sunda. Dalam berbagai sumber Cina yang dihimpun oleh Groeneveldt, salah satu daerah di Nusantara yang mereka kenal pada masa Dinasti Ming adalah Sun-la, yang dianggap lafal Cina untuk Sunda. Tome Pires (1512-1515) dalam Suma Oriental-nya juga menyebut “Bantam” sebagai salah satu pelabuhan penting Kerajaan Sunda, disamping pelabuhan lainnya seperti Pontang, Cigede, Tangerang, Sunda Kelapa, dan Cimanuk.

Banten merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Sunda yang Hinduistis dan berupa kota pelabuhan yang letaknya di ujung barat sehingga merupakan kota pelabuhan pertama yang dikunjungi Tome Pires dalam perjalanannya menyusuri pesisir utara Pulau Jawa. Kota pelabuhan ini terletak di tepi sungai, dan dinilai sebagai kota yang baik (a good city) karena ditata secara teratur dan rapih.

Letak Banten yang berada di dekat Selat Sunda menjadikan kedudukannya sangat strategis, mengingat kegiatan perdagangan di Nusantara dan Asia serta kedudukan barang dengan rempah-rempah di pasar internasional makin meningkat, seiring dengan berdatangannya pedagang-pedagang dari luar negeri. Hal ini membuat Banten semakin berkembang pesat dan menjadi pusat perdagangan yang ramai.

Pada abad ke-16, Kesultanan Banten didirikan oleh Sunan Gunung Jati, seorang tokoh penting dari Kesultanan Cirebon. Ia memutuskan untuk memisahkan diri dari Kesultanan Cirebon dan mendirikan kesultanan sendiri di Banten. Kesultanan Banten berkembang pesat di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, yang berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke seluruh wilayah Banten dan sekitarnya.

Kesultanan Banten memiliki hubungan dagang yang kuat dengan negara-negara Eropa, seperti Inggris, Belanda, dan Portugal. Namun, pada akhirnya hubungan dengan Belanda menjadi kurang harmonis dan berakhir dengan terjadinya Perang Banten pada tahun 1680-an. Kesultanan Banten kemudian runtuh dan wilayahnya menjadi bagian dari Hindia Belanda.

Seiring dengan berdatangannya penjajah asing, Banten juga mengalami berbagai perubahan. Pada awal abad ke-16, Portugis datang ke Banten dan mencoba untuk menjalin hubungan dagang dengan kesultanan tersebut. Namun, hubungan tersebut tidak berjalan mulus dan justru memicu konflik yang berlangsung selama beberapa dekade. Pada tahun 1596, Portugis berhasil menaklukkan kota Sunda Kelapa, yang pada saat itu merupakan pusat perdagangan rempah-rempah yang sangat penting. Penaklukan ini membuat Banten kehilangan pendapatan yang signifikan dan kedudukannya sebagai pusat perdagangan rempah-rempah di Nusantara pun terancam.

Perubahan besar lainnya terjadi pada abad ke-17 ketika VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Belanda mulai menancapkan kakinya di Nusantara. Pada tahun 1601, VOC menandatangani perjanjian dengan Banten yang memungkinkan mereka untuk mendirikan pos dagang di pelabuhan Banten dan melakukan kegiatan perdagangan dengan kesultanan tersebut. Namun, hubungan ini juga tidak berjalan mulus dan sering terjadi konflik antara Banten dan VOC.

Pada tahun 1680, Banten akhirnya jatuh ke tangan VOC setelah mengalami serangkaian perang yang mengakibatkan kerusakan yang cukup parah di kota tersebut. Kesultanan Banten kemudian dihapuskan dan wilayahnya menjadi bagian dari Hindia Belanda. VOC membangun benteng di Banten dan menjadikan kota ini sebagai pusat perdagangan utama di barat daya Pulau Jawa. Kehadiran VOC membuat Banten menjadi pusat perdagangan rempah-rempah yang sangat penting di Nusantara.

Dalam perkembangannya, Banten tidak hanya dikenal sebagai pusat perdagangan rempah-rempah, tetapi juga sebagai pusat kebudayaan dan agama Islam di Jawa Barat. Kesultanan Banten menjadi pusat pengembangan sastra, seni, dan bahasa. Salah satu tokoh sastra terkenal dari Banten adalah Sultan Ageng Tirtayasa yang merupakan penulis Serat Centhini, sebuah kitab sastra Jawa yang terkenal hingga kini.