Mozaik Islam

Menjaga Akidah Islam dan Menghargai Kebhinekaan demi Masyarakat yang Harmonis dan Sejahtera dalam Bingkai NKRI

Bukankah Makan Sahur Sudah Berarti Niat Puasa?

Assalamu’alaikum wr. Wb

Ketika seseorang bangun dimalam hari utk makan sahur, bukankah dalam hatinya secara nyata dia berniat utk melaksanakan puasa di esok harinya?

Adanya perbedaan penafsiran di antara muslim bahwa niat harus diucapkan & muslim yg lain berpendapat bahwa niat itu dari dalam hati kita masing-masing & tdk perlu diucapkan.

Wassalamu’alaikum wr. Wb

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya secara syarat, ketika seseorang bangun utk makan sahur, pastilah di dalam hatinya sudah terbersit niat puasa. Jadi anda sudah benar. Coba saja tanyakan kpd mereka yg sedang makan sahur, mau apa kok bangun & makan di pagi buta begini?

Pasti jawabannya seragam, “Kan kita mau puasa besok.”

Tuh kan, jawabannya jelas, mereka mau puasa. Dan itu saja sebenarnya sudah cukup utk menegaskan bahwa di dalam hati mereka sudah ada niat utk puasa.

Bahkan sebenarnya, jangankan bangun sahur, sekedar terbersit di dalam hati utk berpuasa, sebenarnya sudah merupakan niat. Karena sebagaimana perkataan semua ulama bahwa niat itu memang adanya di dalam hati, bukan di lisan.

Dan tdk ada satu pun ulama baik dari kalangan mazhab Asy-Syafi’i maupun dari mazhab manapun yg mengatalakan bahwa niat itu di lidah. Semua ulama dari ujung barat Maroko sampai ujung timur Maraoke, sepakat bulat-bulat bahwa niat itu bukan di lidah tetapi di dalam hati.
Lalu bagaimana dgn lafadz niat puasa yg sangat terkenal itu? Apakah wajib dilafadzkan? Apakah puasa kita sah bila kita tdk melafadzkan niat?

Lafadz niat yg sering kita dengar atau byk dibaca di masjid-masjid terutama selesai shalat tarawih sebenarnya bukan syarat sah puasa. Lafadz itu sendiri pun tdk ada dasarnya dari Rasululllah SAW. Kita tdk pernah menemukan ada hadits yg menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melafadzkan niat puasa di malam hari selesai shalat tarawih.

Jangankan melafadzkan niat, shalat tarawih pun tdk pernah beliau lakukan seumur hidupnya, kecuali hanya 2 kali saja.

Maka puasa kita sah selama kita sudah berniat sejak malamnya sebelum masuknya waktu shubuh, meski tanpa melafadzkan niat itu di lidah kita.

Lalu sekarang pertanyaan di balik, apakah melafadzkan niat itu lantas menjadi bid’ah, haram & mendatangkan dosa?

Di sini para ulama berbeda pendapat seperti biasanya. Sebagian dari mereka yg sangat sensitif & hati-hati dgn urusan perbid’ahan, umumnya memang langsung to the point mengatakan bahwa melafadzkan niat itu hukumnya bid’ah, haram & berdosa.
Alasannya, karena tdk ada ajarannya dari Rasulullah SAW. Padahal urusan puasa itu merupakan ibadah mahdhah, sehingga haram hukumnya bila ditambah-tambahi sendiri sesuai selera.

Atas fatwa yg seperti ini, ada yg kurang sabar kemudian memvonis bahwa praktek melafadzkan niat yg dilakukan oleh sebagian masyarakat di masjid-masijd itu haram & berdosa. Bahkan sebagian dari mereka mengharamkan hadir di masjid itu lantaran menganggap masjid itu masjid ahlul bid’ah.

Mau dibilang apa lagi, memang begitu tipologi sebagian umat kita. Mudah sekali menjatuhkan vonis kpd sesuatu yg dirasa sbg sesuatu yg tdk sesuai dgn kemauannya.

Lalu apa hujjah dari mereka yg tetap melafadzkan niat puasa? Adakah dasar argumentasi yg bisa diterima secara syar’i sehingga membebaskan mereka dari tuduhan sbg ahli bid’ah tadi?

Jawabnya ada tentu saja. Logikanya, kalau pun melafadzkan niat itu memang mutlak kebid’ahannya, pasti tdk ada lagi orang yg mau melakukannya. Sebagaimana tdk ada orang yg mau shalat shubuh 8 rakaat, karena memang tdk ada ajarannya.

Bagi kalangan ini, melafadzkan niat puasa itu meski tdk ada hadits yg menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, berguna besar utk menguatkan niat. Rupanya di masa lalu, ada orang yg hatinya mudah was-was, selalu ragu & kurang percaya diri.

Di dalam hatinya selalu ada gejolak, apakah saya sudah siap melakukan ibadhah ini atau belum ya? Nah, kpd kalangan yg seperti ini, muncullah fatwa utk melafadzkan niat. Dengan dilafadzkan, maka rasa was-was di dalam hati akan sirna berganti dgn keyakinan.

Kira-kira mirip dgn orang yg sedang jatuh cinta kpd seorang yg sudah lama diincar, tetapi ada rasa ragu, takut, malu, was-was utk menyatakan rasa cinta itu dalam bentuk kata-kata. Maka sejuta perasaan ragu tdk karuan itu akan pecah begitu dinyatakan rasa cinta itu dgn kata-kata.

Maka menurut ulama yg mendukung pelafadzan niat, kalau ragu-ragu, ucapkan saja niat itu. biar plong & selesai masalahnya.

Sekarang mari kita lihat apa yg dikatakan para ulama salaf tentang melafadzkan niat, sesuai literatur ilmu syariah yg kita miliki:

  1. Mazhab Al-HanafiyahKita mulai dari mazhab Abu Hanifah. Para ulama di kalangan mazhab ini terpecah pendapatnya ketika menghukumi pelafalan niat. Sebagian dari mereka mengatakan hukumnya bid’ah, namun sebagian lain mengatakan hukumnya jaiz atau boleh. Tidak merupakan bid’ah yg merusak shalat.

    Bahkan sebagian dari mereka itu menyunnahkan pelafadzan niat terutama bagi mereka yg di dalam hatinya ada was-was. Dengan melafadzkan niat, maka was-was itu akan hilang. Sehingga pelafadzan niat itu justru membantu menguatkan niat.

  2. Mazhab Al-MalikiyahMazhab ini menyatakan bawa melafadzkan niat menyalahi yg utama, kecuali bagi mereka yg was-was. Maka melafadzkan niat bagi mereka yg was-was justru hukumnya mandub (semacam sunnah) agar rasa was-was itu menjadi hilang.
  3. Mazhab As-Syafi’iUmumnya para ulama di dalam mazhab ini menyunnahkan kita utk melafadzkan niat. Setidaknya mengatakan tdk mengapa bila kita melafadzkannya. Lantaran hal itu membantu hati.

    Namun mereka pun sepakat bahwa melafazkan niat itu bukan niat itu sendiri. Jadi seandainya seseorang beribadah tanpa melafadzkan niat, maka ibadahnya tetap sah & diterima Allah Subhanahu wa ta’ala secara hukum.

    Niat utk bertaharah, wudhu’ mandi, shalat, puasa & lainnya sama sekali tdk membutuhkan pelafazhan niat. Itu merupakan kesepakatan para imam mazhab. Karena tempat niat itu hati, bukan lisan.

Seandainya seseorang melafazkan sesuatu lafadz niat yg ternyata berbeda dgn apa yg terbersit di dalam hati, maka yg berlaku sah adl yg ada di dalam hati, bukan yg diucapkan di lisan. Tidak ada seorang ulama pun yg mengingkari hal ini.

Namun memang ada sebagian ulama dari kalangan mazhab As-syafi’i di masa-masa berikutnya yg berijtihad utk melafadzkan niat. Namun sepertinya mereka agak rancu dalam memahami nash dari Imam mereka, Asy-Syafi’i.

Pendapat Imam Ibnu Taimiyah

Imam Ibnu Taimiyah kemudian mengatakan bahwa urusan melafadzkan niat itu para ulama terpecah dua. Menurut sebagain ulama dari mazhab Imam Abu Hanifah, mazhab Al-Imam ASy-Syafi’i & Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa melafadzkan niat itu hukumnya mustahab (lebih disukai), lantaran menguatkan niat di dalam hati.

Sementara sebagian lainnya dari ulama kalangan mazhab Imam Malik & Imam Ahmad bin Hanbal & yg lainnya mengatakan bahwa melafazhkan niat itu tdk mustahab, bahkan hukumnya bid’ah. Lantaran tdk ada contoh dari nabi Muhammad SAW, para shahabat & tabi’in.

Kerancuan Sebagian Ulama Asy-Syafi’i?

Ibnu Al-Qayyim mengatakan bahwa sebagian ulama mutaakhkhirin dari kalangan mazhab Asy-Syafi’i telah rancu dalam memahami nash dari imam mereka sendiri tentang melafadzkan niat.

Di dalam nash, As-Syafi’i memang menyebutkan bahwa seseorang tdk sah memulai shalat kecuali dgn zikir. Itulah nash dari Al-Imam As-Syafi’i yg asli.

Namun nash ini dipahami menjadi tdk sah shalat itu kecuali dgn melafadzkan niat. Mereka memahami bahwa zikir yg dimaksud oleh Al-Imam As-Syafi’i adl lafazh ushalli. Padahal menurut Ibnul Qayyim, yg dimaksud dgn dzikir oleh Asy-Syafi’i adl takbiratul ihram, bukan melafadzkan niat.

Dalam hal ini kelihatan bahwa Ibnu Qayyim membela & tdk menyalahkan Al-Imam ASy-Syafi’i, namun beranggapan bahwa para ulama mutaakhkhirin dari kalangan mazhab ini yg salah dalam memahami nash dari imam mereka.

Kesimpulan

Masalah melafazkan niat adl masalah khilafiyah di kalangan ulama. Sebagian membid’ahkannya, sebagian membolehkannya, sebagian lain bahkan menganggapnya mustahab, terutama bagi yg merasa was-was. Bahkan para ulama dalam satu mazhab pun punya pendapat yg berbeda-beda dalam masalah ini.

Maka sikap saling menyalahkan, apalagi sampai harus bermusuhan dgn sesama muslim utk urusan seperti ini justru merupakan sikap yg kurang dewasa. Kita sebaiknya tdk terjebak kpd permusuhan, apalagi sampai saling mengejek, saling melecehkan atau saling memboikot saudara kita sendiri.

Serahkan urusan ini kpd ulama yg ahli di bidangnya. Kalau ternyata mereka pun berbeda pendapat, memang demikian itulah keterbatasan kita. Sebagai muqallid (orang yg bertaqlid) kpd para ulama, maka kita tetap harus bersikap santun, hormat, & menghargai berbagai perbedaan pendapat di kalangan mereka.

Toh nanti di alam kubur, kita tdk akan pernah ditanyai urusan seperti ini, bukan?
Dan yg pasti, tdk ada satu pun ulama yg sampai mewajibkannya, apalagi sampai mengatakan puasa itu tdk sah kalau tdk melafadzkan niat. Tidak ada seorang pun yg mengatakan itu.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Penulis: Ahmad Sarwat, Lc