Mozaik Islam

Menjaga Akidah Islam dan Menghargai Kebhinekaan demi Masyarakat yang Harmonis dan Sejahtera dalam Bingkai NKRI

Hukum Makelar

Alhamdulillah, salawat & salam semoga terlimpahkan kpd Nabi Muhammad, keluarga, & sahabatnya.

Saudaraku, mungkin Anda merasa segan utk terjun ke dunia bisnis. Banyak alasan yg mendasari keseganan Anda ini, di antaranya ialah karena faktor modal.

Saudaraku, besarkan harapan & tdk perlu berkecil hati! Betapa byk pengusaha sukses yg merintis kesuksesannya dari titik nol. Bila Anda bertanya kpd mereka, “Apa modal awal bisnis Anda?” Mereka hanya bisa menggelengkan kepala, sbg ungkapan bahwa pd awalnya mereka tdk memiliki modal sepeser pun. Lalu, apa yg menjadikan mereka berani terjun ke dunia bisnis?

Ketauhilah, Saudaraku. Seringkali, yg menjadikan mereka bernyali besar sehingga menekuni dunia bisnis hanyalah kepercayaan diri. Mereka percaya bahwa mereka memiliki kemampuan & merasa yakin bisa mendapatkan kepercayaan. Bila demikian adanya, maka apa yg menjadikan Anda segan utk turut menekuni dunia bisnis? Bukankah Anda meyakini bahwa bisnis–alias perniagaan–adalah salah satu ladang rezeki yg terbaik? “Dari sahabat Rafi’ bin Khadij, ia menuturkan, ‘Dikatakan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), ‘Wahai Rasulullah, penghasilan apa yg paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Hasil karya seseorang dgn tangannya sendiri & setiap perniagaan yg baik.”” (Hadis Riwayat: Ahmad, Ath-Thabrani, & Al-Hakim; oleh Syeikh Al-Albani dinyatakan sbg hadis sahih)

Saudaraku, byk celah usaha terbuka lebar di depan Anda! Salah satunya ialah menjadi perantara–alias moderator–atau lbh akrab disebut “makelar“.

Saudaraku, bila Anda telah menemukan celah ini & Anda merasa cocok utk memasukinya, maka alangkah baiknya bila terlebih dahulu mengetahui cara syariat agama memberi bantuan bagi Anda.

Jujur

Kejujuran adl kepribadian yg seyogianya mendasari setiap aktivitas seorang muslim. Sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas berkata, “Seorang muslim itu bisa saja memiliki tabiat pengkhianat & pendusta.” (Hadis Riwayat: Al-Baihaqi)

Dalam dunia percaloan, betapa sering kita mendapatkan saudara-saudara kita melanggar prinsip ini. Ada yg mengaku sbg pemilik barang, sehingga ia bernegosiasi dgn calon pembeli. Padahal, pemilik barang sesungguhnya tdk pernah memberi wewenang utk mengadakan negosiasi atau akad penjualan. Ia hanya mendapatkan kepercayaan mencarikan calon pembeli atau calon penjual.

Di antara sikap mediator, yg nyata merusak kepribadiannya sbg muslim, ialah menyalahi ketentuan harga jual yg diamanahkan kepadanya. Menaikkan harga jual tanpa persetujuan dari pemilik barang demi mengambil selisih harga jual lbh tinggi dari yg dijanjikan pemilik barang. Bisa saja, barang yg diamanahkan kepadanya itu tdk laku jual atau paling kurang tepat menemukan pembeli.

Pada sesuatu hari, sahabat Hakim bin Hizam–seorang pengusaha–bertanya kpd Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang permasalahan yg sering dihadapinya, “Wahai Rasulullah, sebagian orang mendatangiku ingin membeli sesuatu yg tidak/belum aku miliki. Ia menginginkan agar aku terlebih dahulu membeli barang yg ia inginkan dari pasar, lalu aku menjualnya kembali kepadanya.” Rasulullah menjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yg tdk engkau miliki.”(Hadis Riwayat: Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, & Ibnu Majah)

Perjelas hak Anda

Saudaraku, syariat Islam mengajarkan agar kita senantiasa menghormati kepemilikan hak-hak saudara kita. Oleh karena itu, penuhi prinsip perniagaan, mulai dari kejelasan status, hak, hingga kewajiban. Memperjelas hak & kewajiban, sejak awal akad, menjadikan Anda tenang & menjauhkan diri dari persengketaan. Ketahuilah, setiap akad atau transaksi, yg berpeluang menyulut persengketaan antara sesama muslim, biasanya diharamkan dalam Islam. Karenanya, sekali lagi, perjelaslah hak & kewajiban Anda sebelum melangkah lbh jauh.

Inilah yg mendasari sahabat Umar bin Al-Khatthab utk menyatakan, “Penentu hak adl persyaratan.” (Hadis Riwayat: Ibnu Abi Syaibah & Al-Baihaqi; oleh Al-Albani dinyatakan sbg riwayat yg sahih)

Ketahuilah, Saudaraku! Hak Anda sbg mediator hanyalah fee atau upah yg telah disepakati dgn pemberi amanah. Adapun selebihnya adl hak pemilik amanah, bukan milik Anda. Karenanya, Anda berkewajiban utk menghormati & tdk sepantasnya melanggar hak saudara Anda tanpa izin & keridhaan darinya.

Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dgn dasar kerelaan jiwa darinya.” (Hadis Riwayat: Ahmad, Ad-Daraquthni, & Al-Baihaqi; oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar & Al-Albani dinyatakan sbg hadis sahih)

Pendek kata, sebesar apa pun hak yg telah dijanjikan oleh pemilik amanah & telah Anda setujui, maka hanya itulah hak yg layak Anda tuntut & wajib ia berikan. “Kaum muslimin senantiasa memenuhi persyaratan mereka.” (Hadis Riwayat: Abu Daud, Al-Hakim, & Al-Baihaqi; oleh Al-Albani dinyatakan sbg hadis sahih)

Hindarilah khianat terselubung

Di dunia ini, byk orang bermuka dua; berkesan menolong atau belas kasihan, namun sesungguhnya menyimpan kebengisan. Karenanya, dalam dunia percaloan, Anda seringkali menemukan mediator yg terkesan berpihak kpd Anda, tapi tanpa Anda sadari–sebenarnya–ia sedang bersekongkol dgn penjual utk mengeruk harta Anda.

Misalnya, bila Si A memiliki toko bahan bangunan, yg biasanya menjual genting seharga Rp 1.000,00 (seribu rupiah) per genting, tetapi karena Konsumen B datang ke toko tersebut dgn dibawa oleh Si C yg berprofesi sbg tukang bangunan maka Si A menjual gentingnya kpd Si B seharga Rp 1.050,00 (seribu 5 puluh rupiah) per genting, dgn perhitungan: Rp 1.000,00 adl harga genting sebenarnya, & Rp 50,00 adl fee utk C yg telah berjasa membawa konsumen ke toko Si A.

Saudaraku, bila Anda telah menemukan celah ini & Anda merasa cocok utk memasukinya, maka alangkah baiknya bila terlebih dahulu Anda mengetahui tuntunan syariat agama bagi Anda.

Sudah barang tentu, ketika A menaikkan harga penjualan dari Rp 1.000,00 menjadi Rp 1.050,00 dgn perhitungan seperti di atas, tanpa sepengetahuan B. Pada kasus seperti ini B dirugikan, karena ia dibebani Rp 50,00 sbg fee utk C, tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu. Padahal biasanya, si C telah mendapatkan fee dari si B yg setimpal atas jasanya memilihkan toko & barang yg dibeli.

Sikap seperti ini tentu bertentangan dgn firman Allah ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

Wahai orang-orang yg beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dgn jalan yg batil, kecuali dgn jalan perniagaan yg berlaku suka-sama-suka di antara kamu.” (Al Qur’an Surat: An-Nisa:29)

Juga bertentangan dgn sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh melakukan tindakan yg dpt menimbulkan kerugian pd orang lain, juga tdk dibenarkan membalas dgn yg melebihi perbuatan. Barang siapa yg melakukan perbuatan yg merugikan orang lain, niscaya Allah timpakan kerugian kepadanya. Barang siapa yg melakukan perbuatan yg menyusahkan orang lain, niscaya Allah menimpakan kesusahan kepadanya.” (Hadis Riwayat: Al-Hakim & Al-Baihaqi)

Bila pemilik toko memberi fee kpd Si C tanpa menaikkan harga jual maka itu tdk salah. Atau, sebelumnya pemilik toko memberitahukan kpd pembeli bahwa harga genting ditambah fee yg akan deberikan kpd mediator, & ternyata pembeli mengizinkan, maka ini dibenarkan.

[Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri. Sumber: www.pengusahamuslim.com ]