Mozaik Islam

Menjaga Akidah Islam dan Menghargai Kebhinekaan demi Masyarakat yang Harmonis dan Sejahtera dalam Bingkai NKRI

Kewajiban Melontar Dengan 7 (Tujuh) Kerikil

Mayoritas ulama berpendapat bahwa melontar dilakukan dgn 7 (tujuh) butir kerikil sbg salah satu syarat sahnya melontar. Maka seandainya kurang satu saja, tdk dianggap sah lontarannya. Wajib baginya utk kembali menyempurnakan kekurangannya. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melontar jamrah dgn 7 (tujuh) butir kerikil –sebagaimana yg dikutip oleh Jabir & sahabat lainnya-. Dan beliau bersabda :

« لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ »

Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).

Maka wajib hukumnya utk meneladani beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hal ini, & tdk pernah diketahui bahwa beliau mengizinkan seseorang melakukan lontaran dgn ukuran kurang dari 7 (tujuh) butir.

Adapun hadits yg diriwayatkan oleh An-Nasa`i (V/275) & lainnya, dari Mujahid menuturkan, “Sa’ad Radhiyallahu ‘Anhu berkata,

« رَجَعْنَا فِي الْحَجَّةِ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَعْضُنَا يَقُولُ رَمَيْتُ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ وَبَعْضُنَا يَقُولُ رَمَيْتُ بِسِتٍّ فَلَمْ يَعِبْ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ »

“Sekembali kami dari berhaji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, & sebagian dari kami berkata, ‘Aku melontar dgn 7 (tujuh) kerikil’, sedang sebagian kami yanh lain berkata, ‘Aku melontar dgn 6 (enam) kerikil.’ Maka tdk ada sebagian mereka mencela sebagian yg lain”

Ini adl atsar yg terputus, karena Mujahid belum pernah mendengar langsung dari Sa’ad bin Abi Waqqash, sebagaimana yg disinyalir oleh Ibnu al-Qaththan & Thahawi serta lainnya. Hal itu dikutip dari Al-Jauhar an-Naqi (V/149).

Disebutkan bahwa riwayat-riwayat mengindikasikan kewajiban (dengan) 7 (tujuh) kerikil, & tdk ada riwayat bahwa Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menetapkan kpd para sahabatnya mengenai hal tersebut, & tdk ada ijtihad dalam ruang nash.

Lokasi pengambilan batu lontaran

Tidak ada tempat khusus utk memungut batu lontaran, bahkan dpt diambil dari lokasi manapun di kawasan Muzdalifah, atau kawasan Mina, atau dari jalan. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tdk membatasi lokasinya. Atas dasar ini, maka bukan termasuk sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa seorang yg berhaji jika setibanya di Muzdalifah pd malam hari, sibuk memunguti batu dilontarkan di Jamrah Aqabah, atau dilontarkan pd hari-hari at-tasyriq (yaitu tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah, pent.). Sebagaimana yg dilakukan oleh sebagian orang-orang yg berhaji.

Dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma (dalam riwayat al-Fadhl bin Abbas) berkata,

«قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ الْعَقَبَةِ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى رَاحِلَتِهِ هَاتِ الْقُطْ لِي» أخرجه أحمد (3/350) والنسائي (5/197) وابن ماجة (3029) وإسناده صحيح على شرط مسلم

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pd keluar pagi hari ke Aqabah (ghadatal aqabah), sedang ia berhenti di atas kendaraannya, (seraya) bersabda, ‘Berikan kerikil untukku ….’.” Hadis Riwayat: Ahmad (III/350), an-Nasa`i (V/197), Ibnu Majah (3029) dgn sanad yg sahih sesuai syarat Muslim.

Tidak ada secara redaksional haditsnya mengenai keterangan lokasinya. Seandainya zahir redaksinya bahwa kerikilnya diambil utk beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Muzdalifah, berdasarkan redaksinya “ghadatal aqabah (keluar pagi hari ke Aqabah) mengindikasikan bahwa waktunya adl di awal siang (awal an-nahar), & ketika itu di saat awal an-nahar (pagi hari, pent.) beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berada di Muzdalifah. Tetapi redaksi haditsnya tdk secara tegas menyatakan hal itu, bahkan ada kemungkinan bahwa beliau mengambilnya dari Mina saat di Jamrah. Maka tdk riwayat yg terjaga sanadnya dari beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berhenti setelah perjalannya dari Muzdalifah ke Mina, karena waktu ini adl waktu yg diperlukan utk itu. Tidak pula beliau memerintahkan utk memungut batu tersebut sebelumnya, sebab tdk ada manfaatnya & membebaninya. Atas dasar makna yg pertama, maka tdk bersifat umum di seluruh lontaran, bahkan hanya dikhususkan di Jamrah Aqabah saja. Yang dimaksudkan bahwa batu lontaran dpt dipungut di lokasi mana saja. Wallahu a’lam.

Hukum ragu dalam jumlah batu lontaran

Diwajibkan melontar dgn 7 (tujuh) batu kerikil disetiap Jamrah dari ketiga Jamrah, pd hari-hari at-tasyriq. Dan bagi yg kurang batu lontarannya atau kelebihan diharuskan kembali utk menyempurnakan apa yag kurang.

Dan bagi batunya terjatuh atau berlebihan sebelum lontaran, maka ia dpt mengambil batu-batu lontaran yg berada di sekitar cawan tempat lontaran (al-haudh) utk dilontarkannya, sekalipun telah digunakan utk lontaran. Dan inilah pendapat yg sahih dalam masalah ini. Imam Syafi’i Rahimahullah telah merekomendasikan tentang dibolehkannya hal tersebut, karena tdk ada dalil yg melarangnya. Alasan lain, karena batu tdk ada yg berubah padanya, sehingga dimungkinkan utk melontarkannya lagi. Dan makna yg emalatrbelakangi ditentukannya pelontaran dari batu-batu yg ada, hal itu utk memudahkan orang-orang. Benar-benar ada orang yg terkadang jatuh batunya, sementara dia sudah di depan cawan tempat lontaran (al-haudh), lalu dia diperintahkan utk keluar & mengambilnya lagi dari lokasi yg jauh, kemudian kembali masuk utk melontar lagi –sementara keadaannya terkadang sudah penuh sesak- sehingga membebaninya.

Dan barangsiapa yg ragu mengenai jumlah batunya, maka kaidah para fuqaha’ (ulama fikih) bahwa jangan cenderung kpd yg diragukannya setelah menyelesaikan ibadahnya, dgn demikian maka yg lbh berhati-hati (al-ahwath) adl menghilangkan keraguan dgn keyakinan jika saat di jamrah. Seandainya ia telah kembali ke tempat penginapannya, jangan dipikirkan kembali hal itu. Wallahu a’lam.

Diwakilkan saat melontar jamrah

Dasarnya bahwa orang yg berhaji melakukan sendiri lontaran Jamrahnya, baik ia seorang pria maupun wanita. Tidak diwakilkan kpd seorang pun utk menggantikannya melontar, baik utk haji yg fardhu maupun yg sunnah. Karena melontar termasuk perbuatan ibadah (nusuk) dari amalan-amalan ibadah (manasik) haji, serta bagian dari bagian-bagiannya maka harus dilakukan sendiri. Namun jika ditemukan udzur (halangan syar’i), seperti sakit, tua renta, anak kecil, ataupun wanita yg bersama anak-anaknya & tdk ada yg menjaga anak-anaknya tersebut, serta lain sebagainya dalam klasifikasi yg menyebakannya tdk sanggup utk melontar. Maka dibolehkan utk mewakilkan kpd orang lain yg melontarkan menggantiannya. Baik dgn cara ia (baca: orang yg mewakilkan urusannya (al-muwakkil)) yg mengambil batu lontarannya utk diserahkan kpd al-wakil (orang yg mewakilinya), ataupun al-wakil sendiri yg mengambil batunya.

Adapun jika ia sendiri memiliki kesanggupan, maka tdk sepantasnya bersikap memudah-mudahkan dalam manasik ini, karena dia adl ibadah & yg diminta dari seorang mukallaf adl langsung melakukannya sendiri.

Sifat pelaksanaannya, pertama kali al-wakil melontar utk dirinya sendiri, kemudian melontarkan utk al-muwakkil (orang yg mewakilkan urusannya) dgn niat dalam satu sikap perbuatan. Ia tdk diharuskan melontar utk dirinya di seluruh Jamrah, kemudian kembali lagi utk melontarkan orang yg diwakilinya (al-muwakkil). Karena tdk adanya dalil atas hal tersebut, & yg demikian terdapat rintangan berat, terlebih lagi di zaman ini, yg terkadang sedikit orang yg mau menolong, sehingga ia mendapati rintangan yg menghalanginya utk melontarkan orang yg benar-benar membutuhkan orang yg mewakilnya.

Pendapat yg mengemuka –Wallahu a’lam- bahwa seandainya udzur (sebab penghalang) al-muwakkil telah hilang –seperti ia telah kembali sehat dari sakitnya- sedangkan sebagian hari-hari pelontaran masih tersisa, maka ia sendiri yg melontar seluruh lontaran yag tersisa. Karena perwakilan hanya dibolehkan utk keadaan yg darurat. Jika udzurnya hilang sedang waktunya masih tersisa, maka wajib baginya utk melangsungkan sendiri ibadahnya.

Melontar di malam hari

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melontar Jamrah Aqabah pd waktu dhuha di hari an-nahr (penyembelihan), & melontar setelah itu di hari-hari at-tasyriq setelah tergelincirnya matahari. Dan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

« لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ »

“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).”

Para ulama bersepakat atas dibolehkannya melontar hingga terbenam matahari di hari-hari at-tasyriq. Demikian pula melontar Jamrah Aqabah sampai terbenam matahari di hari ‘Iedul Adha menurut pendapat yg kuat.

Terjadi perbedaan pendapat mengenai dibolehkannya melontar di waktu malam dari hari yg mataharinya telah terbenam. Pendapat yg kuat membolehkannya, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menentukan awal waktu melontar dgn perbuatannya, & tdk menentukan batasan akhir waktunya. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar –Radhiyallahu ‘Anhuma- bahwa “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan dispensasi (rukhsah) kpd para pengembala utk melontar di malam hari.” Hadis Riwayat: Al-Bazzar (782/Mukhtashar Zawaidnya), & Al-Baihaqi (V/151), & al-Hafizh menilainya hasan dalam at-Talkhish (II/282). Ia memliki syahid (penguat) dari hadits Ibnu Abbas –Radhiyallahu ‘Anhuma-, diriwayatkan pula oleh Ath-Thahawi di Syarh Ma’ani al-Atsar (II/221), ath-Thabari di Tahdzib al-Atsar (I/222).

Terdapat riwayat di dalam al-Muwaththa’ (I/409) dari Malik dari Abu Bakar bin Nafi’ dari ayahnya, bahwa putri dari saudara lelaki Shafiyah binti Abu ‘Ubaid melahirkan di Muzdalifah, maka ia & Shafiyah mengalami keterlambatan hingga keduanya sampai di Mina setelah matahari terbenam di hari an-nahr. Lalu Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma memerintahkan keduanya utk melontar Jamrah saat keduanya tiba, & ia tdk menetapkan sesuatu (sangsi apapun) atas keduanya.

Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (IV/30) dari Abdurrahman bin Sabith berkata, “Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendatangi para jama’ah haji, & mendoakan mereka, lalu mereka datang & melontar di malam hari.” Sanadnya sahih.

Karena hari utk melontar, & malam mengikutinya hal tersebut, seperti malam an-nahr ikut kpd hari Arafah dalam keabsahan wuquf hingga terbitnya fajar.

Barangsiapa yg kesulitan melakukan lontaran di siang hari, seperti seorang wanita kurus perawakannya & orang tua renta, maka baginya dibolehkan utk melontar di malam hari. Demikian pula orang yg menjadikan lontarannya di malam hari agar memperoleh kemudahan & ketenangan yg lebih, maka ia melontarnya di malam hari. Bahkan sesungguhnya aku mengeaskan kpd siapa saja yg bersama wanita-wanita (mahramnya) utk tdk melontar kecuali di malam hari. Terlebih lagi di hari ke-11 (sebelas) disebabkan penuh sesak sekali. Adapun pd hari ke-12 (dua belas) yaitu hari nafar awal, maka pelontaran saat hampir terbenam matahari masih dimungkinkan dgn tdk adanya rintangan berat hingga bagi para wanita. Dan terlebih lagi bagi orang yg hendak bersegera utk dapay keluar dari Mina sebelum matahari terbenam.

Penulis : Abdullah bin Shalih al-Fauzan