Mozaik Islam

Menjaga Akidah Islam dan Menghargai Kebhinekaan demi Masyarakat yang Harmonis dan Sejahtera dalam Bingkai NKRI

Taubat Nasuhah dan Pelunasan Hutang

Sering terlontar dari perkataan para ulama Rahimahumullah akan wasiat (pesan) yg ditujukan kpd orang yg hendak berhaji utk melakukan taubat dari seluruh kemaksiatan, keluar dari tindakan menzalimi manusia, serta melunasi hutang-hutangnya. Karena ia tdk tahu apa yg terjadi padanya selama dalam perjalanan utk melaksanakan ibadah haji.

Dan byk orang yg tdk mencamkan wasiat ini, maka anda saksikan salah seorang dari kalangan mereka yg berangkat menunaikan haji hingga kembali ke tanah airnya masih disilimuti dosa-dosanya & tercemari dgn kesalahan-kesalahannya. Ia masih terus dalam keadaan berbuat demikian hingga di waktu-waktu ibadah haji yg terbilang utama, ditempat-tempat yg suci, belum juga dirinya melakukan taubat, tdk tampak dalam keadaannya rasa ingin menanggalkan & menyesalinya. Perkara ini sudah selayaknya baginya utk dicermati, & wahai saudaraku perhatikanlah firman Allah Ta’ala :

] فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجّ [ [البقرة/197]

Maka tdk boleh rafats, berbuat fasik & berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS.2:197)

Sesungguhnya taubat di waktu-waktu yg utama menjadi perkara yg agung, karena kebanyakan disaat-saat itulah jiwa-jiwa menerima segala bentuk ketaatan & kecenderungan kuat utk berbuat kebaikan, lalu ia akan menemukan pengakuan diri atas dosa-dosanya, rasa penyesalan terhadap apa yg telah berlalu, kalaupun tdk maka taubat merupakan kewajiban yg harus segera dilakukan di waktu manapun. Karena manusia tdk megetahui di paruh waktu yg mana dia akan meninggal dunia, lebih-lebih bagi orang yg sedang melakukan perjalanan & dalam kerawanan karena keburukan itu akan mengantarkan kebentuk keburukan lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah bertutur dalam Majmu’ al-Fatawa (XXXIV/180) bahwa segala bentuk kemaksiatan maka sanksinya disesuaikan dgn kedudukan waktu & tempat saat melakukannya.

Adapun mengenai hutang, maka pendapat para ulama bahwa ia termasuk sebab penghalang dari al-istitha`ah (kemampuan) yg disyaratkan dalam kewajiban haji, baik yag tergolong hutang ke Allah Ta’ala seperti nadzar & kafarrat. Atau yg tergolong hutang kpd manusia seperti hutang, upah, & lain sebagainya. Lalu andaikan pihak berhutang memiliki harta yg cukup utk biaya haji & melunasi hutang maka tdk mengapa baginya utk berhaji.

Namun demikian hendaknya ia menyegerakan pelunasan hutang-hutangnya utk melepaskan dirinya dari tanggungjawabnya. Sebab ia tdk mengetahui apa yg akan terjadi padanya. Seandainya ia menunda pelunasannya, ia harus menyisakan dari harta yg yg cukup utk pelunasan hutang & menyampaikan wasiat (ke ahli warisnya) mengenai hal tersebut. Contoh dalam perkara ini, seorang yg memiliki transaksi (mu’amalah) antara pihaknya dgn pihak lain, maka baginya hak-hak dari transaksi tersebut & demikian pula pihak lain memiliki hak-haknya. Maka ia tetap berhak melakukan haji, namun ia harus menjelaskan mengenai hartanya & mana yg menjadi hak pihak lainnya.

Adapun jika harta yg dimiliki hanya sedikit, tdk cukup utk berhaji & melunasi hutangnya, maka pelunasan hutang harus didahulukan.

Sehingga ia menjadi orang yg tdk sanggup berhaji, maka ia tdk termasuk ke dalam keumuman firman Allah Ta’ala :

] وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [ [آل عمران/97]

Mengerjakan haji adl kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yg sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS.3:97)

Dan tdk dianggap cukup dgn meminta izin pihak piutang utk rela diundurkan pembayarannya, karena yg dimaksudkan adl membebaskan tanggung jawab hutangnya (bara’ah adz-dzimmah), tdk ada permohonan izin kpd pemilik hak (pihak piutang), sebab seandainya ia diizinkan tetap saja ia tdk dpt membebaskan dirinya dgn izin tersebut dari tanggungjawabnya yg seharusnya.

Penulis : Abdullah bin Shalih al-Fauzan