Mozaik Islam

Menjaga Akidah Islam dan Menghargai Kebhinekaan demi Masyarakat yang Harmonis dan Sejahtera dalam Bingkai NKRI

Riba

  1. APAKAH RIBA ITU?Riba secara literal berarti ‘ziyadah’ (tambahan) & an-naamu (berkembang atau berbunga). Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yg menegaskan bahwa riba adl pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam, secara batil atau bertentangan dgn prinsip muamalah dalam Islam.

    DR. M. Umer Chapra menulis :” dalam terminologi fiqih, riba berarti sesuatu tambahan dalam salah satu dari 2 barang homogen yg dipertukarkan tanpa adanya sesuatu transaksi pengganti atau penyeimbang yg dibenarkan syari’ah.” Wahid Abdus Salam Al-Baly mempertegas defenisi tersebut :”Riba merupakan tambahan yg disyaratkan terhadap uang pokok tanpa ada transaksi pengganti yg disyaratkan.”

    Batasan riba yg diharamkan oleh Al-Qur’an sebenarnya tdk memerlukan penjelasan yg rumit. Karena, tdk mungkin Allah mengharamkan sesuatu bagi manusia, apalagi mengancam pelakunya dgn siksa yg paling pedih, sementara bagi mereka sendiri tdk jelas apa yg dilarang itu. Padahal Allah telah berfirman : “Allah telah menghalalkan jual-beli & mengharamkan riba.” ( Q.S Al-Baqarah : 275 )

    Huruf “al-ma’rifah” dalam kata “ar-riba” baik sbg keterangan “lil ‘ahd” ‘lazim dikenal’ atau “lil jinsi” ‘jenis’, atau “lil istighroq” ‘umum’, maksudnya sudah jelas & terang, yaitu mengharamkan seluruh jenis riba. Seandainya pengertian riba masih kabur, mestilah diterangkan Allah kpd mereka. Ayat ini tdk mendefenisikan lagi kata riba mengingat sudah lazim dikenal secara umum. Riba sbg sesuatu bentuk transaksi telah dikenal oleh bangsa Arab sejak masa jahiliyah, & juga dikenal oleh non Arab. Bangsa Yahudi telah mempraktikkan riba jauh sebelum itu, sampai-sampai perbuatan tersebut diinventarisasi oleh Al-Qur’an dalam kumpulan catatan kriminal mereka :

    “Mereka (Yahudi) mengambil riba, padahal telah dilarang dari perbuatan itu.” (Q.S An-Nisaa’ : 161)

  2. HUKUM RIBARiba diharamkan oleh seluruh agama samawi, dianggap membahayakan oleh Islam, Yahudi & Nashrani.

    Larangan riba muncul dalam Al-Qur’an pd 4 kali penurunan wahyu yg berbeda-beda. Yang pertama, Q.S Ar-Ruum ayat 39 diturunkan di Mekkah. Yang kedua, Q.S An-Nisaa’ ayat 161 diturunkan pd masa permulaan periode Madinah. Wahyu yg ketiga, Q.S Ali Imran ayat 130-132 diturunkan kira-kira tahun ke-2 atau ke-3 Hijriyah. Wahyu yg keempat, Q.S Al-Baqarah ayat 275-281 diturunkan menjelang selesainya misi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

    Rasulullah juga mengutuk, dgn menggunakan kata-kata yg sangat terang, bukan saja mereka yg mengambil riba, tetapi juga yg memberikan riba & juga para penulis yg mencatat transaksi atau para saksinya. “Dari Jabir r.a, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Terkutuklah orang yg menerima & membayar riba, orang yg menulisnya, & 2 orang saksi yg menyaksikan transaksi itu.’ Beliau lalu bersabda, ‘Mereka semua sama (dalam berbuat dosa).” (H. R Muslim, Tirmidzi & Ahmad)

    Dalam agama Yahudi, disebutkan di Perjanjian Lama :”Bila saudaramu membutuhkan, penuhilah, & jangan meminta keuntungan serta manfaat darinya… (ayat 24, pasal 22, Eksodus). Hanya sangat disayangkan, tangan-tangan jahil telah menjamah Perjanjian Lama itu, sehingga kata “saudaramu” dimaknai secara khusus sbg bangsa Yahudi. Dalam Eksodus 19-23 disebut adanya standar ganda ini, “untuk orang asing engkau pinjami dgn mengambil riba, akan tetapi utk saudaramu jangan kau pinjami dgn riba.”

    Dalam agama Nashrani Injil Lukas menyebutkan, “Lakukan yg baik-baik, berikanlah pinjaman dgn tanpa mengharapkan imbalan keuntungan darinya. Bila itu kalian lakukan, pahala kalian sangat besar.” (ayat 24-25, pasal 6).

    Pandangan serupa juga dianut oleh para filsuf. Filsuf Yunani kuno, tepatnya Solon (peletak undang-undang Athena kuno) & Plato, mengharamkan riba. Aristoteles menganggap riba sbg hasil yg tdk wajar karena diperoleh dari jerih payah orang lain. Ia berpendapat, uang tdk bisa melahirkan uang.

  3. KLASIFIKASITerdapat perbedaan pendapat Ulama dalam mengklasifikasikan riba. Ada yg menyebutkan riba terbagi 2, terbagi 3 & terbagi 4. disini penulis mengambil pendapat Ulama yg membagi riba kpd 2 macam, yaitu riba Fadhl & riba Nasi’ah. Karena penulis menilai ini lbh mudah dicerna & dimengerti.

    Diantara para Ulama yg membagi riba kpd fadhl & Nasi’ah adl : Sayyid Sabiq, Fakhruddin Ar-Razi, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Abdullah bin Ahmad Al-Muqdasi (Faqih Hambali), Hasan Ibnul Muttahar (Faqih Ja’fari), DR. Yusuf Al-Qardhowi.

    Kata riba telah disebutkan secara umum dalam Al-Quran atau hadits. Maka, konotasinya tdk lain dari riba yg hakiki, yaitu apa yg dikenal pd era jahiliyah, & yg populer dgn istilah “riba nasi’ah” ‘riba utang’. Namun, ada lagi jenis riba lain yg dalam hadits disebut “riba fadhl” ‘riba jual-beli’.

    Pembahasan penulis kali ini berkisar tentang riba yg asli atau riba jahiliah. Yaitu, riba yg terkenal pd umat-umat dahulu, & masih berlansung efektif sampai saat ini. Riba inilah yg merupakan tulang punggung bagi sistem kapitalis & kolonialis Barat.

    Istilah nasi’ah berasal dari akar kata nasaa’ yg berarti menunda, menangguhkan atau menunggu, & mengacu pd waktu yg diberikan bagi pengutang utk membayar kembali utang dgn memberikan “tambahan” atau “premi”. Karena itu riba nasi’ah mengacu kpd bunga pd utang.

    Setidaknya ada 2 bentuk riba pinjaman yg dipraktekkan oleh bangsa Arab jahiliah. Pertama, riba yg baru dikenakan pd saat peminjam tdk mampu melunasi utangnya & meminta perpanjangan waktu. Pada saat jatuh tempo, pemberi utang biasanya memberi 2 pilihan : melunasi seluruh pokok pinjaman atau perpanjangan waktu dgn “penambahan” pembayaran. “Penambahan” ini kita kenal dgn baik. Penambahan ini bisa berupa kuantitas, seperti menangguhkan pengambalian seekor unta sekarang dgn 2 ekor unta dimasa mendatang, atau dalam umur, seperti menangguhkan pengembalian seekor unta yg berumur satu tahun dgn seekor unta yg berumur 2 atau 3 tahun di masa mendatang.

    Jadi, riba baru dikenakan bila ada perpanjangan waktu. Ini sangat berbeda bila dibandingkan dgn sistem bunga perbankan modern. Bahkan, tanpa meminta perpanjangan waktupun, sipeminjam harus membayar beban bunga. Masihkah kita akan berdalih bahwa bunga bank tdk memberatkan seperti riba jahiliah? Bahkan, praktik pembungaan uang oleh bank lbh parah dari praktek riba an-nasiah diatas.

    Bunga perbankan hari ini ternyata juga telah ada praktiknya pd zaman jahiliah. Yaitu bentuk yg kedua, yg mana bangsa Arab sudah terbiasa dgn situasi di mana seorang pemberi pinjaman uang utk sesuatu periode tertentu & mengambil sejumlah riba (bunga) tertentu setiap bulan. Inilah riba yg berlaku sekarang & dikutip oleh bank & lembaga-lembaga keuangan lain di dunia. Allah telah mengharamkannya bagi kaum muslimin.

    Intinya, larangan riba nasi’ah mengandung implikasi bahwa penetapan sesuatu keuntungan positif di depan pd sesuatu pinjaman sbg imbalan karena menunggu, manurut syari’ah tdk diperbolehkan. Tidak ada perbedaan apakah persentase keuntungan dari pokok itu bersifat tetap atau berubah, atau sesuatu jumlah tertentu yg dibayar didepan atau pd saat jatuh tempo, atau sesuatu pemberian (hadiah) atau sesuatu bentuk pelayanan yg diterima sbg sesuatu persyaratan pinjaman.

    Permasalahan bunga (interest) sebenarnya telah dikaji oleh para Ulama & Pemikir Islam. Mereka telah sepakat menyatakan bahwa bunga (interest) dari semua jenis pinjaman adl riba yg diharamkan, melalui berbagai keputusan diskusi, seminar & konfrensi Ilmia Islam Internasional diantaranya :

    • Keputusan Muktamar Islam II Lembaga Riset Islam diselenggarakan di Kairo pd Muharram 1385 H/ Mei 1965 M, dihadiri oleh para wakil & utusan dari 35 negara Islam.
    • Keputusan Lembaga Fikih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI), dalam sidang Muktamar II di Jeddah, pd tanggal 10-16 Rabi’uts Tsani 1406H /22-28 Desember 1985 M.
    • Keputusan Lembaga Fikih Islam Rabithah Alam Islami dalam sidangnya yg ke-9, di aula Rabithah Alam Islami di Mekkah, Rajab 1406 H.
    • Keputusan Muktamar Bank Islam II 1403 H/ 1983 M di Kuwait.
  4. ALASAN YANG MUNCUL UNTUK MEMBELA BUNGA (INTEREST)Di dunia ini akan selalu ada konfrontasi yg abadi, yaitu peperangan antara al-haq & al-bathil. Masing-masing mempunyai pengikut yg setia membelanya. Ketika para pembela al-haq telah sepakat bunga (interest) adl riba yg diharamkan, muncul para pendukung al-bathil dgn seribu satu macam alasannya utk membela bunga (interest). Dalam makalah ini penulis hanya memunculkan satu alasan diantara sekian byk alasan yg dimunculkan oleh para pendukung riba.
    • Masalah riba yg berlipat ganda.Dalam upaya utk mencari-cari celah membolehkan bunga bank, ada orang yg beralasan bahwa riba yg diharamkan Al Qur’an ialah riba yg adh’afan mudha’afah’berlipat ganda’, sedangkan riba yg kecil seperti 8% atau 10% tdk termasuk riba yg dilarang. Ungkapan ini terdengar sejak awal abad kedua puluh, dgn alasan berpegang kpd konotasi ayat Al Qur’an :

      “Wahai orang-orang yg beriman, janganlah kamu memakan riba dgn berlipat ganda, takutilah Allah, semoga kamu beruntung.” (Q.S Ali Imran : 130)

      Orang yg memiliki kemampuan memahami cita rasa bahasa Arab yg tinggi & mnemahami retorikanya, sangat memaklumi bahwa sifat riba yg disebutkan dalam ayat ini ‘adh’afan mudha’afah’ adl dalam konteks menerangkan kondisi objektif & sekaligus mengecamnya. Mereka telah sampai pd tingkat ini dgn cara melipatgandakan bunganya.

      Pola berlipat ganda ini tdk dianggap sbg kriteria (syarat) dalam pelarangan riba. Dalam arti bahwa berlipat ganda hukumnya boleh.

      Lagi pula manakah yg disebut disebut riba yg kecil & mana riba yg besar? Siapa yg menyatakan 10% itu kecil & 12% itu besar? Apa ukurannya? Sangat relatif.

      Jika kita mau berpegang pd makna eksplisit ayat, maka yg disebut berlipat ganda itu besarnya 600% sebagaimana yg pernah diungkapkan oleh Prof. Dr.Muhammad Daraz, karena kata ‘adh’af’ itu sendiri bentuk jamak, paling sedikitnya tiga. Maka, jika 3 dilipatgandakan walaupun sekali, maka akan menjadi enam. Adakah yg membenarkan hal ini?

      Dalam surah Al Baqarah, terdapat penghapusan riba secara total.

      “Wahai orang-orang yg beriman, takutlah kpd Allah & tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang yg beriman. Jika kamu tdk melepaskan seluruh sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah & Rasul-Nya akan memerangimu. Jika kamu bertobat, maka bagimu pokok hartamu. Kamu tdk menganiaya & tdk pula dianiya.” ( Q.S Al Baqarah : 278-279 ).

Setelah mengetahui keharaman bunga (interest) muncul pertanyaan ‘apa solusinya?’. Jawaban sederhananya adl kembali ke Al-Qur’an & As-Sunah. Sejarah telah membuktikan bahwa sistem perkonomian Islam yg bebas riba telah mampu memakmurkan bumi ini. Pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sulit dicari orang yg berhak menerima zakat.

Kewajiban pertama bagi umat Islam adl membebaskan diri dari keterikatan dgn bank-bank ribawi. Pindahkan semua uang ke bank-bank Islam. Pemerintah wajib mendukung & membantu pendirian lembaga-lembaga keuangan Islam. Namun tdk berarti ketiadaan lembaga keuangan Islam menjadi alasan utk membolehkan praktek ribawi. Masih byk alternatif yg lain, diantaranya muzara’ah.

Disamping para ekonom muslim wajib mengkaji Ekonomi Islam lbh mendalam, sehingga permasalahan umat dibidang perekonomian terselesaikan. Karena ada benyak transaksi-transaksi model baru yg dibutuhkan umat saat ini. kita harus berhati-hati, jangan sampai terjerumus ke riba.

Oleh: Drs. AL YASSER, M.E.I.

Rujukan tentang Riba

Karim, Adiwarman A. 2001. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Gema Insani Pers.

Al-Qordhawi, Yusuf. 2000. Norma & Etika Ekonomi Islam.diterjemahkan oleh Zainal Arifin & Dahlia Husin, Gema Insani Pers, Jakarta.

Al-Qordhawi, Yusuf. 2001. Halal Haram dalam Islam. diterjemahkan oleh Wahid Ahmadi, dkk, Gema Insani Pers, Jakarta.

Hafidhuddin, Didin. 2003. Islam Aplikatif. Gema Insani Pers, Jakarta.

Suhendi, Endi. 2002. Fiqh Muamalah. Rajawali Pers, Jakarta.

Al-Qur’an & Terjemahannya. CV Toha Putra

Al-Qardhawi, Yusuf. 2002. Bunga Bank Haram. Diterjemahkan oleh DR. Setiawan Budi Utomo, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta.

Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah. Diterjemahkan oleh H. Kamaluddin, A. Marzuki, PT. AlMa’arif, Bandung.

Baly, Wahid Abdus Salam. 2002. Dialog Bank Syari’ah vs Bank Konvensional. Diterjemahkan oleh Kathur Suhardi, Darul Falah, Jakarta.

Chapra, M. Umer. 2000. Sistem Moneter Islam. diterjemahkan oleh Ikhwan Abidin Basri, Gema Insani Pers, Jakarta.

Chapra, M. Umer. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam. diterjemahkan oleh Ikhwa Abidin Basri, Gema Insani Pers, Jakarta.