Mozaik Islam

Menjaga Akidah Islam dan Menghargai Kebhinekaan demi Masyarakat yang Harmonis dan Sejahtera dalam Bingkai NKRI

I’tikaf

I’tikaf Terkendala Oleh Jam Kerja

Assalamualikum. Wr. Wb.

Ustadz yg dirahmati Allah. Ada yg ingin saya tanyakan. Ramadhan tahun ini saya mempunyai jam kerja yg benar-benar tdk nyaman dgn aktivitas ramadhan saya terutama saat 10 hari terakhir.

Disaat teman-teman saya khusuk itikaf di Masjid… Saya malah mendapat jadwal kerja dari sore sampai pagi.. & saya merasa sangat merugi… padahal sangat ingin memaksimalkan 10 hari terakhir dgn Itikaf.

Apakah ada saran yg bisa Ustadz berikan kpd saya? Dan setahu saya itikaf itu adl di Masjid bukan di tempat yg lain.

jazakamulllah Khairan katsira.

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabaraktuh,

Satu hal yg perlu anda ketahui bahwa di balik keutamaan & anjuran utk beri’tikaf di masjid pd 10 malam terakhir bulan Ramadhan, bahwa para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu hukum bukan wajib. Hukumnya sunnah dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tdk pernah mewajibkannya. Beliau memang tdk pernah meninggalkan i’tikaf, namun tetap saja hukumnya tdk sampai wajib.

Sehingga seorang muslim yg tdk sempat utk melakukan i’tikaf di masjid para 10 malam terakhir bulan Ramadhan itu tdk dikatakan sbg orang yg berdosa atau melakukan kemaksiatan.
Di sisi lain, bekerja mencari nafkah utk menghidupi anak & isteri merupakan kewajiban, bukan sekedar sunnah. Sebab seorang suami telah diperintahkan utk memberi nafkah kpd keluarga yg menjadi tanggungannya.

Maka seandainya ada orang yg bisa mengatur waktunya agar tetap bisa bekerja mencari nafkah namun tetap bisa melakukan i’tikaf di masjid, tentu sangat beruntung.

Namun buat mereka yg tdk mendapatkan kesempatan utk beri’tikaf karena alasan jam pekerjaan, tentu bukan berarti semua pintu-pintu kebaikan telah tertutup untuknya. Masih ada ribuan pintu kebaikan lainnya yg tetap terbuka & bisa dimasuki utk mendapatkan pahala yg besar di sisi Allah SWT.

Sehingga anda tdk perlu berkecil hati bila pd bulan Ramadhan tahun ini belum dpt menikmati indahnya malam-malam i’tikaf, semoga di tahun-tahun mendatang Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan kesempatan itu.
Ada seorang yg bercerita bahwa saking cintanya utk beri’tikaf, dia sengaja tdk mengambil cuti tahunan dari kantor, kecuali setiap tanggal 21 hingga 30 Ramadhan. Tujuannya agar bisa ikut beri’tikaf di masjid.

Tentu kita maklum bila tdk semua lapisan umat Islam mendapat kesempatan seperti ini. Pintu-pintu kebaikan masih tetap terbuka lebar, meski tdk harus lewat pintu ‘itikaf. Misalnya al-jihad fi sabilillah yg pernah dilakukan oleh Abdullah bin Mubarak.

Bahkan jihad di bulan Ramadhan jauh lbh berfaedah & lbh mendatangkan pahala yg besar. Sehingga beliau sampai membuat gubahan syi’ir yg amat terkenal:

Wahai orang-orang yg beribadah di 2 masjid Al-Haram (Makkah Madinah)

Seandainya kalian melihat kami (berjihad)

Pastilah kalian tahu bahwa dalam beribadah, kalian masih main-main.

Rupanya dalam pandangan beliau, bila dibandingkan antara jihad di front terdepan utk menegakkan agama Allah dgn ibadah di dalam masjid Al-Haram, masih jauh lbh utama. Dan ibadah di dalam masjidi itu hanya seperti orang main-main. Karena tdk sampai beresiko mengorbankan nyawa, harta & lainnya.

Kalau dipikir-pikir, apa yg beliau sampaikan ada benarnya juga. Sebab beri’tikaf di masjid itu memang nikmat, aman, damai, tdk ada resiko perjuangan, tdk ada ancaman nyawa melayang, atau luka-luka parah akibat tusukan pedang, sebagaimana di medan jihad.

Dan medan jihad yg sesungguhnya seperti di Palestina, Iraq & negeri muslim terjajah lainnya, akan membuat seolah ibadah i’tikaf di masjid hanya sekedar main-main.

Namun hal ini tdk berarti kita mengecilkan arti & nilai beri’tikaf di 10 malam terakhir. Yang menjadi tujuan adl bahwa seandainya ada orang yg karena satu & lain hal, belum mendapat kesempatan utk beri’tikad di masjid, maka insya Allah masih begitu byk pintu kebaikan yg lain & terbuka kesempatan utk meraih surga lewat pintu-pintu itu.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabaraktuh.

Penulis: Ahmad Sarwat, Lc